Tuesday, December 10, 2013

Pernikahan Beda Agama Menurut Islam Liberal

Saya mencari informasi tentang pernikahan beda agama. Pertama kali membaca tulisan Republika online. Di sana membahas berbagai kerugian, yang mungkin menimpa orang, yang memutuskan menikah beda agama. Dari mulai masalah masa pacaran, sampai masalah identitas si anak yang mungkin bingung. Mengapa ibu ibadahnya begitu, sedang ayah ibadahnya begini.

Tapi saya kira, bahasan pada Republika online itu kurang mendalam dan kurang lengkap. Bahasan lebih mendalam tentang pernikahan beda agama ini, saya temukan lagi di situs Islam Liberal.

Wah, bahaya nih kalau sudah membaca tulisan orang-orang JIL. Bisa-bisa terpengaruh.
Ah, itu urusan nanti.

Kalau saya cermati, tulisan orang-orang liberal memang cukup menarik. Dalam masalah pernikahan beda agama, saya langsung menemukan tulisan Abdul Muqsith Ghazali. Seperti gaya bicaranya, tulisannya pun tenang dan tertib. Runut, sistematis, dengan bahasa-bahasa ilmiah yang mudah dimengerti. Muqsith menulis:

"Globalisasi meniscayakan perjumpaan tak hanya orang satu agama, melainkan juga yang beda agama. Tunas cinta bersemi di kantor-kantor modern yang dihuni para karyawan beragam agama. Ruang-ruang publik seperti mall, cafe, dan lain-lain, membuat perjumpaan kian tak tersekat agama. Sekat primordial agama terus luluh diterjang media sosial seperti facebook dan twitter. Orang tua tak mungkin membatasi anaknya bergaul dengan yang seagama."

Dalam tulisannya ini, Abdul Muqsith mengemukakan hukum beda agama. Sesuai pandangan dia tentunya, khas Jaringan Islam Liberal, yang menurut pendapat kebanyakan orang, banyak menghalalkan yang haram. Dan dalam masalah pernikahan beda agama ini, Muqsith berusaha membolehkan.

Alasan yang dikemukakannya adalah kisah Umar bin Khotob. Ketika turun surat Al-Mumtahanah ayat 10, Umar langsung menceraikan dua istrinya. yang masih kafir, yaitu Bintu Abi Umayyah dan Ummu Kulsum. Umar pernah marah kepada orang-orang yang hendak menikah kepada ahli kitab, dan sebab kemarahannya, karena khawatir wanita-wanita muslim tidak menjadi pilihan mereka. Umar juga pernah mengirimkan surat kepada Khuzaifah, supaya menceraikan istrinya yang ahli kitab. Waktu itu Khuzaifah bertanya:"Apakah Anda mengira pernikahan dengan ahli kitab itu haram?" Umar menjawab: "Tidak, saya hanya khawatir." Ini menjadi pertanda, bahwa Umar saja tidak berani menyebutkan keharamannya secara mutlak.


Itu pernikahan dengan ahli kitab. Lalu bagaimana pernikahan dengan orang kafir yang bukan ahli kitab?

Muqsith merujuk sejarah Nabi, ketika beliau menikahkan Putrinya, yaitu Zainab kepada Abu Al-Ash yang saat itu seorang kafir. Pernikahan ini tidak dilakukan dengan syari'at Islam, karena dilangsungkan sebelum Islam. Yang menarik, setelah Muhammad diangkat menjadi Nabi, Abu al-Ash tidak lantas memeluk Islam. Dia tetap dalam kekafirannya. Walau demikian, Nabi tidak berusaha menceraikan Zainab dari suaminya, dan tetap membiarkan mereka berumah tangga. Ini menjadi dalil tersendiri bolehnya seorang wanita muslim berumah tangga dengan pria non muslim.

*  *  *

Pendapat JIL ini saya kemukakan, sekedar membuka wacana saja, bahwa, itulah alasan mereka yang membolehkan pernikahan beda agama. Kita yang punya pendirian mengharamkannya, diharapkan mengemukakan karya ilmiah lebih bagus lagi, lebih tertib, dan lebih mengena.

No comments:

Post a Comment