Tidak pernah kurasakan sebelumnya, detik-detik senelangsa hari ini. Air mata saya bercucuran, dan saya memeluknya, menggendongnya, lalu membawanya ke rumah, lalu sambil menyeka sekujur tubuhnya dengan lap, kuratapi nasibnya yang malang:
"Siapakah yang telah menelantarkanmu Anjing? sampai tega membiarkanmu di tepi jalan. Binatang pandai, penuh pengertain, dan setia sepertimu tak sepantasnya terbiarkan. Seharusnya orang-orang memberikan sepasi hatinya untuk mengasihanimu, mengambilmu dan memberimu makan, dan berhenti mengklaim bahwa dunia dan seisinya ini milik dirinya sendiri. Anjing, aku menyekamu, mengambilmu di sini, mengasihanimu, sungguh karena aku kasihan kepadamu, bukan karena aku menghendaki sesuatu yang mungkin akan kudapatkan darimu, tidak, tidak, tidak sama sekali. Hanya karena amanah rasa kemanusiaanmulah, mengapa sekarang aku mengelusmu, mencintaimu Anjing!"
Sisa-sisa kain percak dari samping mesin jahit istriku kukumpulkan, dan kuratakan pada alas kotak kayu bekas telur, dan semalaman itu si anjing kusimpan di sana. Lesu sekali tampaknya, langsung dia rebahkan badannya, menyamping sebagaimana layaknya tidur seekor anjing. Sekejap mata nanarnya menatap ke arahku, empat detik kemudian terpejam, membuatku khawatir, lalu kurabakan tangan ke perutnya, syukurlah masih bernafas, sebagaiman kesetiaannya kepada manusia yang menjadi majikannya, masih setia juga nyawa meninggali tubuhnya. Sampai besok Anjing!
Saya tak bisa beranjak jauh dari sana, ingin tetap di dekatnya, meski istriku, sejak tadi, memanggilku untuk makan sore. Demikianlah keluargaku tidak membiasakan makan siang, cukup pagi dan sore, tidak pula makan malam, dan kami mencukupkan diri dua kali makan sehari. Namun sore ini, kubiarkan saja istriku makan sendiri, sebab aku, entah kenapa, tak bisa beranjak jauh dari anjing ini. Kusilangkan kedua kaki untuk duduk bersila, menegakkan punggung, menyimpan kedua tangan ke atas kedua paha, kemudian memejamkan mata, lalu khayalan mengambil alih rasa wujud badan ini, memindahkanya ke sebuah taman penuh bunga, memiliki danau kecil dengan berbagai ikan berwarna, dan memiliki enam batang pohon apel yang sedang merah ranum dengan berbagai burung-burung kecil berwarna hijau jingga, rumput hijau terhampar lembut, yang semua keindahan itu tak sanggup kunikmati karena suasana yang melingkariku adalah alam gelap gulita tengah malam. Itulah sebabnya duduk diam di taman tidak saya jadikan pilihan, melainkan terbang, menuju gugusan bintang, kuambil sepasi, lalu pulang ke bumi, yang dengannyalah kunyalakan cahaya melihat apa saja sebenarnya yang ada. Sangat mengherankan, mengapa aku berada di tengah pemakaman, berbaris pusara-pusara dengan ribuan batu nisan bernama. Adakah yang salah denganmu wahai sepasi bintang, atau memang aku salah turun sehingga berada di sini?
Ah, betapa kacaunya khayalanku, tidak punya pijakan yang jelas, maka saya buka saja bibir mata, dan tampaklah di hadapan saya, ternyata alam masih penuh cahaya. Gemuruh hujan di luar telah terganti cericit burung emprit sore hari, menemani matahari yang turun meninggalkan awan yang perlahan berubah menjadi lembayung. Istriku menutupkan tirai, dan lima jam kemudian saya telah berada di kamar, di samping istri saya, di atas seprei putih berlapiskan selimut. Semua orang akan mengira-ngira apa yang akan dilakukan seorang suami kepada istrinya dalam keadaan ini, namun halnya saya, bukannya membalikkan wajah ke arah istri, melainkan malah membuka selimut, turun ranjang, kemudian ke dapur, menyalakan lampu, dan tampak, si anjing sedang membuka mata. Masih dalam terbaringnya, saya mengusap-usap perutnya.
Kamu masih hidup, syukurlah.Berlian mahal di leher para istri bangsawan, permata yang bergelantungan pada anting-antingnya, atau gelang atau cincin, atau sutra, sebenarnya semua itu tak berarti jika tak pernah dia gunakan menolong siapa pun, akan tetapi sepatu jelek yang dilepas demi menyeduk air untuk memberi minum bangsamu, di masa lalu, dalam kisah yang dituturkan Nabi, itu lebih berharga dari dunia dan seirinya. Maka akankah
No comments:
Post a Comment